Lone-Ranger Christian?
Frasa “lone ranger” di sini diterjemahkan: orang Kristen yang bertindak sendiri dan tanpa perlu konsultasi atau persetujuan orang lain. Ketika dia tergerak memberi, maka, segera melakukan tapi tidak terlihat orang-orang yang menyertai. Dia juga mungkin tidak tergabung dalam suatu komunitas orang percaya. Orang lain mungkin memuji bahwa dia adalah pribadi berintegritas. Namun apakah Alkitab mengesahkan keyakinan dia: menjalani kehidupan Kristen secara sendirian? Di sepanjang artikel ini, “lone-ranger Christian” disingkat LRC.
Tiga alasan mengapa orang memilih menjadi LRC dikemukakan:
pertama, mereka mungkin belum menjumpai suatu komunitas yang memenuhi keinginannya-pengajaran mendalam atau musik sesuai dengan preferensi pribadi atau kualitas relasi tertentu yang dikehendaki ada dan ditunjukkan oleh anggota-anggota komunitas itu.
Kedua, keyakinan bahwa semakin dalam suatu hubungan, semakin besar kemungkinan disakiti.
Ketiga, fobia-komitmen. Hal ini berarti ketakutan untuk berjanji menaati ajaran iman Kristen secara mutlak. Mereka masih terbuka untuk kemungkinan lain: sesuatu yang lebih baik; yang dapat memberikan mereka kebebasan. Mereka tidak mau terbebani dengan ikatan relasi dan tanggung jawab terhadap anggota persekutuan.
Apakah benar kehidupan berkomunitas cenderung membebani dan menyakiti anggota yang tergabung di dalamnya? Apakah benar kerohanian seseorang bisa bertumbuh dengan isolasi diri terhadap orang percaya lainnya? (lanjutan dari pertanyaan yang diajukan di paragraf 1)
Tiga rasul Yesus yang membahas tentang kehidupan yang membutuhkan orang lain yaitu Yohanes, Paulus dan Petrus. Kita dapat membaca kitab Yohanes 13:34-35; 15:12-17; Roma 12:9-10, 1 Petrus 1:22; 2:17. Kesamaan pesan yaitu adanya kewajiban untuk saling mengasihi. Mengasihi dimaknai mengupayakan agar kasih sesama anggota tidak menjadi dingin (tidak tawar hati). Melalui kasih, sifat Injil terpampang nyata.
Di dalam komunitas yang mengasihi, para anggota mengejar kedamaian dan kesatuan. Lebih jauh lagi, ada empati di hubungan yang terjalin antar anggota. Seperti ada tertulis, “Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!” (Rm. 12:15).
Bukankah empati adalah yang selama ini yang kita cari? Kita merasa aman karena mengetahui bahwa anggota-anggota di sekitar akan menjaga perasaan. Jika pun ada perkataan atau tindakan yang menyakiti, hal itu tidak disengaja.
Jika Anda merasa takut untuk menerima bantuan orang lain (karena tidak ingin membebani), ada baiknya meluangkan waktu untuk memikirkan hal berikut ini. Sebagai penerima berkat, kita memberikan kesempatan bagi saudara seiman untuk melakukan kehendak Tuhan: memberi (Mat. 25:35-36). Sebaliknya, ketika kita memberi, kita melakukan kehendak Tuhan.
Sebuah kutipan tentang berelasi dengan orang lain terkait pertumbuhan iman yaitu “Kekristenan adalah perkara korporat, dan kehidupan Kristen dapat diwujudkan hanya dalam kaitannya dengan sesama orang percaya.” Tidak ada tempat bagi isolasi relasi. Isolasi relasi hanya menghasilkan manusia kerdil; yang mengklaim dirinya mengalami pertumbuhan rohani namun sebenarnya diragukan kebenaran pernyataannya.
Dalam berelasi, kita diajar: memakai standar Tuhan dalam menilai orang (penerimaan anggota baru bukan berdasarkan apa yang dimiliki (Yak.2: 1-13), saling memberi teladan dan melindungi persekutuan kita dari orang-orang yang ingin menghancurkan. Pengajaran-pengajaran di atas mengajarkan nilai kekal: kasih (1 Kor. 13:8). Tidak berelasi berarti kehilangan kesempatan untuk memberi dan menerima kasih.
Akankah kita berhenti sejenak untuk singgah kemudian tinggal di dalam kelompok orang percaya atau jalan terus dan melewatkan sesuatu yang bernilai kekal?
Penulis: Yohan Winata, S.Pd, M.Th