News Breaking
Youtube
wb_sunny

Breaking News

[Mungkinkah] Kekristenan Sejati Tanpa Pengampunan? (Mat. 18:21-35)

[Mungkinkah] Kekristenan Sejati Tanpa Pengampunan? (Mat. 18:21-35)

.     Yohan Winata, S.Pd, M.Th

ARTIKEL- Perikop yang sedang kita bahas terkait dengan perikop sebelumnya (Mat. 18:15-20), yang berkenaan dengan relasi dengan sesama, khususnya bagaimana menangani saudara yang berdosa. 

Jika orang yang dinasehati memperhatikan nasehat, maka, dia mendapatkan orang itu kembali (nampaknya mengacu pada pertobatan). Hal ini diperkuat dengan respon yang harus ditunjukkan apabila yang dinasehati memilih untuk bebal (tetap hidup dalam dosa meskipun sudah dinasehati bersama dua atau tiga orang saksi dan bahkan ditegur oleh jemaat), maka, dia akan diperlakukan sebagai orang yang tidak mengenal Allah atau pemungut cukai (ay. 17).
Setelah membahas tentang perlakuan kepada saudara, Yesus melanjutkan dengan menyampaikan apa yang diikat oleh muridnya di dunia akan terikat di surga, sebaliknya, apa yang dilepaskan di dunia akan terlepas di surga (ay.18). Ayat ini ditafsirkan dengan memperhatikan ayat 15-17 sehingga pemikiran yang diperoleh berkenaan dengan apakah seseorang diampuni oleh Tuhan atau tidak. 

Selain mempergunakan konteks dekat, penulis juga melakukan penyelidikan lintas kitab, membaca tulisan rasul Lukas tentang pengutusan tujuh puluh murid Yesus. 
Disampaikan kedatangan mereka bertujuan untuk menyembuhkan orang sakit dan memberitakan bahwa Kerajaan Allah sudah dekat (Luk. 10:9). Para murid itu juga diingatkan tentang kemungkinan penolakan atas pelayanan mereka. 

Kepada pendengar mereka yang berlaku demikian, mereka diminta untuk pergi ke jalan-jalan raya kota itu dan meneriakkan dengan lantang, “Juga debu kotamu yang melekat pada kaki kami, kami kebaskan di depanmu; tetapi ketahuilah ini: Kerajaan Allah sudah dekat.” Yesus juga menjelaskan tentang apa yang terjadi dengan orang-orang yang berlaku demikian, “Aku berkata kepadamu: pada hari itu Sodom akan lebih ringan tanggungannya dari pada kota itu.”    
Berdasarkan informasi di atas, kita mengetahui dengan jelas bahwa murid-murid itu diberikan otoritas ilahi yang mewakili Tuhan Yesus dalam menilai respon penduduk di kota tersebut berdasarkan penerimaan atau penolakan mereka atas berita “Kerajaan Allah sudah dekat” dan mengetahui konsekuensi yang akan ditanggung ketika penghakiman Allah datang di akhir zaman (penolakan berujung kepada penghukuman kekal).
      
Setelah penulis selesai membahas Mat. 18:15-18, barulah dia membahas tentang perumpamaan pengampunan (ay.21-35). Yesus mengajarkan tentang pengampunan melalui tanggapan-Nya atas pertanyaan Petrus. Yesus menyebutkan frasa “Kerajaan Sorga” yang diibaratkan dengan seorang raja yang mengadili pelanggaran warganya. Hal ini dicatat, “23 Sebab hal Kerajaan Sorga seumpama seorang raja yang hendak mengadakan perhitungan dengan hamba-hambanya. 24 Setelah ia mulai mengadakan perhitungan itu, dihadapkanlah kepadanya seorang yang berhutang sepuluh ribu talenta.”

Dijelaskan bahwa orang itu tidak bisa membayarkan hutangnya, sehingga raja menyampaikan keputusannya untuk menjual ia, anak dan istrinya dan semua harta benda guna melunasi hutangnya. Warga itu memohon agar diberikan waktu untuk melunasi hutangnya. 

Raja berbelaskasihan menghapuskan hutangnya dan membebaskannya. Segera sesudahnya, orang itu berlaku kejam kepada temannya dengan memenjarakan orang itu karena tidak mau membayar. Orang-orang yang mengetahui peristiwa bagaimana dia diampuni oleh raja, segera melapor ke raja. Raja memanggil, kemudian menjatuhkan hukuman kepada orang itu di penjara sampai bisa melunasi hutangnya. 

Frasa “Kerajaan Allah” dalam perumpamaan ini merupakan penggambaran Kerajaan Allah sebagai pengadilan oleh Bapa. Allah mengampuni hutang dosa manusia yang percaya kepada Yesus betapa pun besarnya kesalahan yang mereka perbuat. Pengampunan Allah tidak berhenti di waktu pertobatan kita pertama kali; yang memimpin kita kepada menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat.

Pengampunan-Nya berlanjut. Setiap kali kita mengakui kesalahan, Allah mengampuni kita. Ketika kita menyadari betapa besarnya kasih-Nya kepada kita, kita sudah seharusnya bersedia mengampuni sesama kita. 

Jika kita meneladani pribadi Allah, maka, kita sudah seharusnya tidak membatasi pengampunan dengan menetapkan jumlah kesalahan yang dapat ditolelir. Sebaliknya, kita siap sedia memberikan pengampunan setiap kali diperlukan. 
Penulis: Yohan Winata, S.Pd, M.Th

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.