MINGGU KE-II PEKAN SUCI “Kesengsaraan”
IA MERASAKAN SAKIT AGAR KITA DISEMBUHKAN (Yesaya 53:4)
ARTIKEL- Andai ada pertanyaan yang diajukan kepada kita, baik oleh orang-orang terdekat maupun rekan-rekan dalam komunitas kita, yang bertanya, "Apakah kamu ingin merasakan sakit hari ini?" Tentu saja pertanyaan semacam itu bersifat retorika.
Mana mungkin seseorang mau merasakan sakit! Semua orang berusaha keras agar tidak merasakan sakit sebisa mungkin. Hal serupa dialami oleh Tuhan Yesus.
Kita tahu bahwa Dia pun sebenarnya tidak ingin merasakan sakit, bahkan harus menderita dengan begitu intens, seperti yang terjadi di Taman Getsemani.
Kita mungkin dengan mudah berpendapat bahwa permohonan Yesus kepada Bapa adalah hal yang wajar sebagai manusia, agar jika memungkinkan, Ia tidak perlu meminum cawan penderitaan tersebut (Mat. 26:39).
Namun, apakah kita sudah benar-benar memahami alasan di balik keputusan Yesus? Setelah manusia jatuh ke dalam dosa, hubungan manusia dengan Allah menjadi rusak.
Meskipun Allah tidak menghendaki manusia, sebagai ciptaan-Nya yang paling mulia, harus menderita sebagai konsekuensi dari ketidaktaatan mereka, namun kenyataannya manusia telah melakukannya. Firman Tuhan dengan tegas menyatakan bahwa upah dosa adalah maut.
Relasi yang buruk dengan Allah tercermin dalam perilaku moral yang buruk. Hal ini terjadi ketika manusia terpisah dari Allah karena dosa. Mereka tidak lagi menginginkan untuk melakukan kehendak Tuhan, melainkan menjadi penguasa atas diri mereka sendiri.
Dampak dari ketidaktaatan manusia kepada Allah adalah bahwa manusia harus mengalami kematian. Pada awalnya, manusia tidak diciptakan untuk mati, namun akhirnya mereka harus mengalami kematian sebagai hukuman atas ketidaktaatan mereka.
Hal ini menegaskan bahwa fisik manusia tidak abadi. Manusia menjadi rentan secara fisik. Kekebalan tubuh manusia semakin menurun seiring berjalannya waktu. Itulah sebabnya, manusia harus melakukan segala sesuatu untuk menjaga kesehatan fisiknya agar bisa melakukan kehendak hatinya.
Keadaan sedih ini harus dialami manusia karena keterpisahan mereka dari Allah, namun demikian, Allah masih mengasihi mereka.
Penderitaan yang dialami Tuhan Yesus bukanlah penderitaan biasa. Penderitaan-Nya adalah yang sempurna dan tidak dialami oleh siapapun selain diri-Nya sendiri.
Mengapa demikian? Jika kita benar-benar memahami pelayanan dan penderitaan Yesus, kita akan menyadari bahwa Dia tidak hanya menderita, tetapi menderita sampai mati di kayu salib.
Namun, pertanyaan yang perlu kita pikirkan adalah: Mengapa Dia melakukannya? Dalam arti sederhana, mengapa Dia mau menderita sedemikian rupa? Yesaya menjelaskan bahwa Dia tidak hanya menderita, tetapi juga ditikam dan diremukkan karena dosa kita, dan menanggung semua kesalahan kita.
Faktanya, selama hidup-Nya, Tuhan Yesus tidak melakukan dosa atau pelanggaran. Lalu mengapa Dia harus menderita sebagai orang yang dihukum? Pertanyaan-pertanyaan ini hanya bisa dijawab ketika kita memahami dan mengenali betapa besar kasih Allah terhadap dunia ini, sebagaimana dicatat dalam Yohanes 3:16.
Kita menyadari bahwa manusia telah rusak oleh dosa. Dalam sejarah setelah manusia jatuh ke dalam dosa, tidak ada satu pun manusia yang berakal budi atau mencari Allah; sebaliknya, semuanya telah menyeleweng dan melakukan dosa.
Sesungguhnya penderitaan yang Ia alami penderitaan akibat pemberontakan kita dan dosa kita.
Sesungguhnya Allah begitu mengasihi manusia. Hal ini tercermin sejak mulanya Allah menasihatkan manusia agar mereka tidak memakan buah tentang pengetahuan yang baik dan yang jahat agar mereka tidak mati, di samping itu hal ini juga menjelaskan bahwa manusia tidak diciptakan seperti robot tetapi sebagai pribadi yang memiliki kehendak.
Menapaki minggu kesengsaraan ini, hendaklah kita benar-benar mengahayati makna penderitaan Tuhan Yesus sebelum kematianNya. Satu hal yang perlu kita syukuri dan patut menjadi sukacita bagi kita ialah penderitaan-Nya membawa kesembuhan bagi kita. Hubungan kita kepada Allah telah dipulihkan sebagaimana mestinya.
Hal ini juga berarti kita memiliki kebebasan untuk menghampiri Allah melalui Anak-Nya tanpa bayang-bayang hukuman. Melalui kehidupan sehari-hari, perwujudan penghayatan ini ialah hidup di dalam kasih dan kebenaran Allah. Kiranya Roh Kudus menolong dan memampukan kita untuk tetap hidup dalam anugerah dan berkat-berkat Tuhan yang penuh kuasa. Amin.
Penulis: Abdiel Anugrah
Mahasiswa STT Sabda Agung Surabaya